Menyikapi
Kenaikan Harga LPG
Oleh: Mukhlis
(Dosen dan Mahasiswa Program
Doktor Ilmu Ekonomi PPS FE Unsri)
Sumatera Ekspress, 9 Oktober 2014
Sepertinya
pembicaraan seputar dampak kenaikan harga LPG, dalam hal ini LPG 12 kg, sudah
menjadi banal, baik di kalangan
politisi, akademisi sampai ke warung kopi. Kenaikan harga Liquid Petroleum Gas (LPG) tampaknya memang sudah harus menjadi
“takdir “ tak terelak yang harus dilakukan. Dengan alasan menutupi kerugian
Pertamina yang sudah demikian membengkak mencapai 7,3 triliun antara tahun
2012-2013.
Semakin miris bila dicoba difahami
sepenuh hati apa yang akan terjadi ke depannya bila kenaikan harga LPG terus
menerus dilakukan penyesuaian. Kenaikan LPG 12 kg pada medio 2014 sebesar Rp.
1.5000 per kg atau Rp. 18.000 per tabung
(harga nett), meski menurut
pengamatan beberapa ahli tidak memberikan efek yang signifikan terhadap
kenaikan inflasi. Tetap akan berpengaruh kepada pelaku ekonomi, dalam hal ini
produsen dan rumah tangga, yang
memanfaatkan LPG sebagai salah satu komponen berproduksi.
Terkenang kepada pembelajaran di
bangku kuliah, adalah deadweight loss.
Makhluk satu ini selalu menjadi primadona pembicaraan saat bicara mengenai
struktur pasar tidak bersaing. Utamanya dalam kaitan dengan pengukuran efisiensi ekonomis. Tak pelak kenaikan
harga LPG 12 kg akan mengikuti kaidah tersebut. Makin besar kesejahteraan yang
akan hilang akibat kenaikan harga ini. Mungkin inilah mekanisme otomatis berjalannya kondisi Pareto Optimum, suatu kondisi timbal balik yang memberikan sisi
positip dan negatip dari suatu aktivitas. Saat satu pihak diuntungkan, maka
pihak lain akan menerima kerugian.
Mari coba berhitung ulang, dengan
asumsi harga awal per kg per hari Rp. 6.069,- dan produksi perhari 6.000 metrik
ton. Diperkirakan jumlah surplus yang diterima produsen (Pertamina) adalah
sebesar Rp. 18.207.000,- dari setiap penjualan unit LPG per harinya. Dengan
adanya kenaikan sebesar Rp. 1.500,- per kg, dan asumsi produksi adalah tetap,
diperkirakan surplus produsen yang akan hilang sebesar Rp. 4.500.000,- per
harinya dari setiap unit LPG yang dijual. Perhitungan tersebut hanya sekedar
hitungan sederhana di atas kertas dan ini masih jauh dari taraf sempurna. Asumsi
yang digunakan juga masih menggunakan harga nett
yang ditetapkan, belum memperhitungkan biaya eceran, biaya transport, filling fee, marjin agen dan PPN serta
migrasi ke LPG 3 kg, karena migrasi LPG 12 kg ke 3 kg tentunya akan memicu
pengurangan kuantitas LPG 12 kg yang dijual.
Lalu
bagaimana dengan produsen pengguna LPG sebagai input produksi? dapat
dibayangkan besarnya bagian surplus yang hilang. Seperti yang diketahui,
konsumen LPG 12 kg digunakan untuk industri rumahan dan menengah ke bawah. Berdasarkan
hasil penelitian, biaya yang dihabiskan untuk bahan bakar dapat mencapai 35%
dari biaya produksi, selebihnya untuk bahan baku, sewa, upah dan sebagainya. Sedangkan
kenaikan biaya produksi sebagai akibat kenaikan harga bahan bakar sekitar 60%.
Tentunya ini memberikan tekanan yang berat kepada produsen.
Ibarat
buah simalakama, menaikkan harga jual
produk sangat sulit dilakukan, mengingat daya beli konsumen yang rendah. Tetap
mempertahankan harga jual juga menjadi semakin tidak rasional. Berdasar hukum
penawaran, seyogyanya saat terjadi kenaikan ongkos produksi, maka harga jual
semakin tinggi dan harus diikuti penambahan kuantitas yang diproduksi/jual sehingga
marjin keuntungan akan semakin besar. Tetapi, menambah kapasistas produksi
tidak serta merta dapat dilakukan. Banyak hal yang “wajib” diperhitungkan
secara holistic sehingga perencanaan
menjadi matang dan mapan. Artinya, produsen dituntut harus selalu kreatif dalam
menjaga loyalitas pelanggan dan kualitas produknya. Diyakini setiap produsen
sudah sangat rasional dan berjiwa inovatif dalam menyiasati dampak kebijakan
yang dikeluarkan. Sudah selayaknya juga produsen selaku bagian dari elemen
masyarakat yang terlibat langsung dalam aktivitas ekonomi diajak “duduk setara”
mencari solusi masalah dan cara menyikapi dampak kenaikan harga LPG tersebut.
Sehingga kekhawatiran akan terjadinya inflasi, ketidak percayaan masyarakat
terhadap pemerintah, kriminalitas dan spekulasi; semaksimalnya dapat
diminimalisir.
Oleh
karena itu, menyikapi kenaikan harga LPG ini tidak cukup hanya dari satu sudut
pandang. Bila dikaitkan dengan masalah “kerugian” yang diderita Pertamina,
sudah benar kebijakan menaikan harga LPG. Tetapi bila kembali ke amanat Pasal
33 UUD 1945, sepertinya koordinasi antara pihak pemerintah dan pertamina harus
semakin intensif. Karena bila dianggap “ringan”, maka masyarakat banyak akan semakin
ditindasi. Sangat diyakini dan dipercaya, apabila komponen masyarakat
dilibatkan dalam hal ini, maka tidak akan terjadi demonstrasi, spekulasi dan
sebagainya, disamping efektif “memblokir” provokasi yang “mungkin” akan muncul
dari pihak yang tidak berkompeten. Percuma dua pihak (pertamina dan masyarakat)
merajuk, karena tidak akan pernah ada yang membujuk. Tajuk yang dahulunya tak
pernah merunduk, sudah tiba saatnya untuk merunduk. Kenaikan harga LPG yang
sudah naik, mungkin perlu difikirkan kembali apabila akan melakukan penyesuaian
di masa datang. Sudah saatnya Pertamina memikirkan solusi jangka panjang yang
jauh lebih efektif untuk kemaslahatan bersama dengan menjual energi berupa LPG
yang lebih murah dan tepat sasaran. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar