Kamis, 29 Januari 2015

Menyikapi Kenaikan LPG



Menyikapi Kenaikan Harga LPG
Oleh: Mukhlis
(Dosen dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi PPS FE Unsri)
Sumatera Ekspress, 9 Oktober 2014


Sepertinya pembicaraan seputar dampak kenaikan harga LPG, dalam hal ini LPG 12 kg, sudah menjadi banal, baik di kalangan politisi, akademisi sampai ke warung kopi. Kenaikan harga Liquid Petroleum Gas (LPG) tampaknya memang sudah harus menjadi “takdir “ tak terelak yang harus dilakukan. Dengan alasan menutupi kerugian Pertamina yang sudah demikian membengkak mencapai 7,3 triliun antara tahun 2012-2013.
            Semakin miris bila dicoba difahami sepenuh hati apa yang akan terjadi ke depannya bila kenaikan harga LPG terus menerus dilakukan penyesuaian. Kenaikan LPG 12 kg pada medio 2014 sebesar Rp. 1.5000 per  kg atau Rp. 18.000 per tabung (harga nett), meski menurut pengamatan beberapa ahli tidak memberikan efek yang signifikan terhadap kenaikan inflasi. Tetap akan berpengaruh kepada pelaku ekonomi, dalam hal ini produsen dan rumah tangga,  yang memanfaatkan LPG sebagai salah satu komponen berproduksi.
            Terkenang kepada pembelajaran di bangku kuliah, adalah deadweight loss. Makhluk satu ini selalu menjadi primadona pembicaraan saat bicara mengenai struktur pasar tidak bersaing. Utamanya dalam kaitan dengan pengukuran efisiensi ekonomis. Tak pelak kenaikan harga LPG 12 kg akan mengikuti kaidah tersebut. Makin besar kesejahteraan yang akan hilang akibat kenaikan harga ini. Mungkin inilah mekanisme otomatis berjalannya kondisi Pareto Optimum, suatu kondisi timbal balik yang memberikan sisi positip dan negatip dari suatu aktivitas. Saat satu pihak diuntungkan, maka pihak lain akan menerima kerugian.
            Mari coba berhitung ulang, dengan asumsi harga awal per kg per hari Rp. 6.069,- dan produksi perhari 6.000 metrik ton. Diperkirakan jumlah surplus yang diterima produsen (Pertamina) adalah sebesar Rp. 18.207.000,- dari setiap penjualan unit LPG per harinya. Dengan adanya kenaikan sebesar Rp. 1.500,- per kg, dan asumsi produksi adalah tetap, diperkirakan surplus produsen yang akan hilang sebesar Rp. 4.500.000,- per harinya dari setiap unit LPG yang dijual. Perhitungan tersebut hanya sekedar hitungan sederhana di atas kertas dan ini masih jauh dari taraf sempurna. Asumsi yang digunakan juga masih menggunakan harga nett yang ditetapkan, belum memperhitungkan biaya eceran, biaya transport, filling fee, marjin agen dan PPN serta migrasi ke LPG 3 kg, karena migrasi LPG 12 kg ke 3 kg tentunya akan memicu pengurangan kuantitas LPG 12 kg yang dijual.
Lalu bagaimana dengan produsen pengguna LPG sebagai input produksi? dapat dibayangkan besarnya bagian surplus yang hilang. Seperti yang diketahui, konsumen LPG 12 kg digunakan untuk industri rumahan dan menengah ke bawah. Berdasarkan hasil penelitian, biaya yang dihabiskan untuk bahan bakar dapat mencapai 35% dari biaya produksi, selebihnya untuk bahan baku, sewa, upah dan sebagainya. Sedangkan kenaikan biaya produksi sebagai akibat kenaikan harga bahan bakar sekitar 60%. Tentunya ini memberikan tekanan yang berat kepada produsen.
Ibarat buah simalakama, menaikkan harga jual produk sangat sulit dilakukan, mengingat daya beli konsumen yang rendah. Tetap mempertahankan harga jual juga menjadi semakin tidak rasional. Berdasar hukum penawaran, seyogyanya saat terjadi kenaikan ongkos produksi, maka harga jual semakin tinggi dan harus diikuti penambahan kuantitas yang diproduksi/jual sehingga marjin keuntungan akan semakin besar. Tetapi, menambah kapasistas produksi tidak serta merta dapat dilakukan. Banyak hal yang “wajib” diperhitungkan secara holistic sehingga perencanaan menjadi matang dan mapan. Artinya, produsen dituntut harus selalu kreatif dalam menjaga loyalitas pelanggan dan kualitas produknya. Diyakini setiap produsen sudah sangat rasional dan berjiwa inovatif dalam menyiasati dampak kebijakan yang dikeluarkan. Sudah selayaknya juga produsen selaku bagian dari elemen masyarakat yang terlibat langsung dalam aktivitas ekonomi diajak “duduk setara” mencari solusi masalah dan cara menyikapi dampak kenaikan harga LPG tersebut. Sehingga kekhawatiran akan terjadinya inflasi, ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah, kriminalitas dan spekulasi; semaksimalnya dapat diminimalisir.
Oleh karena itu, menyikapi kenaikan harga LPG ini tidak cukup hanya dari satu sudut pandang. Bila dikaitkan dengan masalah “kerugian” yang diderita Pertamina, sudah benar kebijakan menaikan harga LPG. Tetapi bila kembali ke amanat Pasal 33 UUD 1945, sepertinya koordinasi antara pihak pemerintah dan pertamina harus semakin intensif. Karena bila dianggap “ringan”, maka masyarakat banyak akan semakin ditindasi. Sangat diyakini dan dipercaya, apabila komponen masyarakat dilibatkan dalam hal ini, maka tidak akan terjadi demonstrasi, spekulasi dan sebagainya, disamping efektif “memblokir” provokasi yang “mungkin” akan muncul dari pihak yang tidak berkompeten. Percuma dua pihak (pertamina dan masyarakat) merajuk, karena tidak akan pernah ada yang membujuk. Tajuk yang dahulunya tak pernah merunduk, sudah tiba saatnya untuk merunduk. Kenaikan harga LPG yang sudah naik, mungkin perlu difikirkan kembali apabila akan melakukan penyesuaian di masa datang. Sudah saatnya Pertamina memikirkan solusi jangka panjang yang jauh lebih efektif untuk kemaslahatan bersama dengan menjual energi berupa LPG yang lebih murah dan tepat sasaran. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar