Kamis, 29 Januari 2015

Puisi Charil Anwar

PENERIMAAN_ Kalau kau mau kuterima kau kembali. Dengan sepenuh hati. Aku masih tetap sendiri. Kutahu kau bukan yang dulu lagi. Bak kembang sari sudah terbagi. Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani. Kalau kau mau kuterima kembali. Untukku sendiri tapi. Sedang dengan cermin aku enggan berbagi. Maret 1943 (Chairil Anwar)

Materi TPL_All

Format Proposal dan Laporan Akhir

Statistik 3a

Statistik 4a

Statistik Materi 5a

Kuantitatif 1_Pendekatan Kuantitatif

Kuantitatif 2_Statistik dan Data

Kuantitatif 3_Tendensi Sentral

Kuantitatif 3a_Studi Deskriftif

Kuantitatif 4_Teori Permaninan

Filsafat Ilmu_Produktivitas

Efisiensi Alokatif

Klaster UKM Palembang

Ketegaran Harga

Menyikapi Kenaikan LPG



Menyikapi Kenaikan Harga LPG
Oleh: Mukhlis
(Dosen dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi PPS FE Unsri)
Sumatera Ekspress, 9 Oktober 2014


Sepertinya pembicaraan seputar dampak kenaikan harga LPG, dalam hal ini LPG 12 kg, sudah menjadi banal, baik di kalangan politisi, akademisi sampai ke warung kopi. Kenaikan harga Liquid Petroleum Gas (LPG) tampaknya memang sudah harus menjadi “takdir “ tak terelak yang harus dilakukan. Dengan alasan menutupi kerugian Pertamina yang sudah demikian membengkak mencapai 7,3 triliun antara tahun 2012-2013.
            Semakin miris bila dicoba difahami sepenuh hati apa yang akan terjadi ke depannya bila kenaikan harga LPG terus menerus dilakukan penyesuaian. Kenaikan LPG 12 kg pada medio 2014 sebesar Rp. 1.5000 per  kg atau Rp. 18.000 per tabung (harga nett), meski menurut pengamatan beberapa ahli tidak memberikan efek yang signifikan terhadap kenaikan inflasi. Tetap akan berpengaruh kepada pelaku ekonomi, dalam hal ini produsen dan rumah tangga,  yang memanfaatkan LPG sebagai salah satu komponen berproduksi.
            Terkenang kepada pembelajaran di bangku kuliah, adalah deadweight loss. Makhluk satu ini selalu menjadi primadona pembicaraan saat bicara mengenai struktur pasar tidak bersaing. Utamanya dalam kaitan dengan pengukuran efisiensi ekonomis. Tak pelak kenaikan harga LPG 12 kg akan mengikuti kaidah tersebut. Makin besar kesejahteraan yang akan hilang akibat kenaikan harga ini. Mungkin inilah mekanisme otomatis berjalannya kondisi Pareto Optimum, suatu kondisi timbal balik yang memberikan sisi positip dan negatip dari suatu aktivitas. Saat satu pihak diuntungkan, maka pihak lain akan menerima kerugian.
            Mari coba berhitung ulang, dengan asumsi harga awal per kg per hari Rp. 6.069,- dan produksi perhari 6.000 metrik ton. Diperkirakan jumlah surplus yang diterima produsen (Pertamina) adalah sebesar Rp. 18.207.000,- dari setiap penjualan unit LPG per harinya. Dengan adanya kenaikan sebesar Rp. 1.500,- per kg, dan asumsi produksi adalah tetap, diperkirakan surplus produsen yang akan hilang sebesar Rp. 4.500.000,- per harinya dari setiap unit LPG yang dijual. Perhitungan tersebut hanya sekedar hitungan sederhana di atas kertas dan ini masih jauh dari taraf sempurna. Asumsi yang digunakan juga masih menggunakan harga nett yang ditetapkan, belum memperhitungkan biaya eceran, biaya transport, filling fee, marjin agen dan PPN serta migrasi ke LPG 3 kg, karena migrasi LPG 12 kg ke 3 kg tentunya akan memicu pengurangan kuantitas LPG 12 kg yang dijual.
Lalu bagaimana dengan produsen pengguna LPG sebagai input produksi? dapat dibayangkan besarnya bagian surplus yang hilang. Seperti yang diketahui, konsumen LPG 12 kg digunakan untuk industri rumahan dan menengah ke bawah. Berdasarkan hasil penelitian, biaya yang dihabiskan untuk bahan bakar dapat mencapai 35% dari biaya produksi, selebihnya untuk bahan baku, sewa, upah dan sebagainya. Sedangkan kenaikan biaya produksi sebagai akibat kenaikan harga bahan bakar sekitar 60%. Tentunya ini memberikan tekanan yang berat kepada produsen.
Ibarat buah simalakama, menaikkan harga jual produk sangat sulit dilakukan, mengingat daya beli konsumen yang rendah. Tetap mempertahankan harga jual juga menjadi semakin tidak rasional. Berdasar hukum penawaran, seyogyanya saat terjadi kenaikan ongkos produksi, maka harga jual semakin tinggi dan harus diikuti penambahan kuantitas yang diproduksi/jual sehingga marjin keuntungan akan semakin besar. Tetapi, menambah kapasistas produksi tidak serta merta dapat dilakukan. Banyak hal yang “wajib” diperhitungkan secara holistic sehingga perencanaan menjadi matang dan mapan. Artinya, produsen dituntut harus selalu kreatif dalam menjaga loyalitas pelanggan dan kualitas produknya. Diyakini setiap produsen sudah sangat rasional dan berjiwa inovatif dalam menyiasati dampak kebijakan yang dikeluarkan. Sudah selayaknya juga produsen selaku bagian dari elemen masyarakat yang terlibat langsung dalam aktivitas ekonomi diajak “duduk setara” mencari solusi masalah dan cara menyikapi dampak kenaikan harga LPG tersebut. Sehingga kekhawatiran akan terjadinya inflasi, ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah, kriminalitas dan spekulasi; semaksimalnya dapat diminimalisir.
Oleh karena itu, menyikapi kenaikan harga LPG ini tidak cukup hanya dari satu sudut pandang. Bila dikaitkan dengan masalah “kerugian” yang diderita Pertamina, sudah benar kebijakan menaikan harga LPG. Tetapi bila kembali ke amanat Pasal 33 UUD 1945, sepertinya koordinasi antara pihak pemerintah dan pertamina harus semakin intensif. Karena bila dianggap “ringan”, maka masyarakat banyak akan semakin ditindasi. Sangat diyakini dan dipercaya, apabila komponen masyarakat dilibatkan dalam hal ini, maka tidak akan terjadi demonstrasi, spekulasi dan sebagainya, disamping efektif “memblokir” provokasi yang “mungkin” akan muncul dari pihak yang tidak berkompeten. Percuma dua pihak (pertamina dan masyarakat) merajuk, karena tidak akan pernah ada yang membujuk. Tajuk yang dahulunya tak pernah merunduk, sudah tiba saatnya untuk merunduk. Kenaikan harga LPG yang sudah naik, mungkin perlu difikirkan kembali apabila akan melakukan penyesuaian di masa datang. Sudah saatnya Pertamina memikirkan solusi jangka panjang yang jauh lebih efektif untuk kemaslahatan bersama dengan menjual energi berupa LPG yang lebih murah dan tepat sasaran. (***)

Konsumsi dan Tingkat Bunga



KONSUMSI DAN TINGKAT BUNGA:
Kajian Empiris di Sumatera Selatan, 2005-2014

Mukhlis



Abstrak

Teori konsumsi yang dikemukakan oleh Keynes menyatakan bahwa konsumsi rumah tangga berhubungan negatip dengan tingkat bunga dan efeknya hanya terjadi dalam jangka. Sedangkan dalam jangka pendek efeknya kurang begitu berarti. Penelitian ini dilakukan untuk kasus Palembang selama periode 2005-2014. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, berupa konsumsi dan tingkat bunga. Alat analisis yang digunakan adalah model regresi sederhana untuk melihat pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi rumah tangga. Model kemudian dikembangkan lagi dengan mengadopsi Error Correction Model (ECM) untuk melihat penyesuaian konsumsi dalam jangka pendek. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang negatif antara tingkat bunga dengan konsumsi dan signifikan pada level 95%. Sedangkan melalui model yang disesuaikan melalui perubahan tingkat bunga, ditemukan bahwa tingkat bunga juga memiliki efek tehadap konsumsi dalam jangka pendek.

Kata kunci: konsumsi, tingkat bunga



Abstract

Consumption theory proposed by Keynes states that household consumption is negatively related to the interest rate and the effect only occurs in the long run . While in the short run effect is less significant . This study was conducted to Palembang cases during the period 2005-2014 . The data used in this research is secondary data , in the form of consumption and interest rate . The analysis tool used is a simple regression model to see the effect of the interest rate on household consumption . The model was then developed further by adopting Error Correction Model ( ECM ) to see the adjustment of consumption in the short term . The results showed a negative relationship between the interest rate and consumption is significant at 95 % level . While through the model adjusted through changes in interest rates , it was found that the rate of interest also has the effect on consumption in short run.

Keywords : consumption , interest rate

 



1.    Pendahuluan

Analisis terhadap pola konsumsi rumah tangga dalam beberapa dekade ini menjadi menarik untuk di bahas. Mengingat kontribusi konsumsi rumah tangga sangat besar dalam pembentukan pendapatan nasional. Di beberapa negara, pengeluaran konsumsi ini hamper meliptui 70% dari pendapatan nasional (Sangadji, 2007).
            Mengingat peranan konsumsi yang penting dalam pereknomian, maka memahami tentang aspek perilaku konsumsi juga menjadi sangat penting. Dengan demikian, kebijakan makro ekonomi juga harus didasarkan pada pemahaman mengenai aspek perilaku konsumsi itu sendiri. Kajian mengenai keterkaitan konsumsi dengan variabel makro yang lain, seperti pendapatan, investasi dan pertumbuhan ekonomi banyak telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Tentunya dengan hasil yang beragam untuk menunjukkan pola keterkaitan antara variabel tersebut.
Dalam model keterkaitan antara sektor moneter dan rill, dinyatakan bahwa variabel bunga adalah variabel penghubung antara kedua sektor tersebut. Artinya variabel bunga adalah variabel eksogen di luar model karena sifatnya sebagai adalah penghubunga antar sektor.
            Beberapa ahli ekonomi, diantaranya Keynes, dalam grand theory mengenai konsumsi menyatakan bahwa, konsumsi rumah tangga berhubungan negatip dengan tingkat bunga (interest rate). Tingkat bunga dalam konteks pemahaman teori ini tentunya adalah tingkat bunga tabungan secara umum. Beda halnya dengan bunga investasi yang cenderung memiliki hubungan positip dengan konsumsi melalui besaran investasi (Krisnawati, et.all, 2005). Semakin tinggi tingkat bunga, maka konsumsi akan semakin menurun, karena masyarakat cenderung memperbesar tabungan, sehingga rumah tangga akan menahan konsumsi mereka.
            Berkaitan dengan hal tersebut, dalam paper singkat ini akan coba difahami kembali mengenai relasi antara konsumsi dengan tingkat bunga (interest rate) melalui pendekatan fungsi logaritma dan penyesuaian jangka pendek dari konsumsi dan tingkat bunga dengan mendasarkan pada asumsi yang ada di fungsi konsumsi mengenai keterkaitan antara kedua variabel tersebut. Kajian difokuskan pada wilayah Sumatera Selatan selama periode 2005-2014 dengan menggunakan data pengeluaran konsumsi dan tingkat bunga secara umum. Hasil yang diharapkan bahwa perilaku variasi tingkat bunga terhadap konsumsi akan memberikan pola hubungan yang sama dan sejalan dengan teori konsumsi yang telah ada.


2.    Review Literatur

Fungsi Konsumsi Keynes

Konsumsi besar peranannya dalam menentukan arah kebijakan ekonomi makro suatu negara. Melalu efek penggandanya akan diketahui besarnya dampak konsumsi terhadap keseimbangan pendapatan nasional (Sangadji, 2007). Secara sederhana, teori Keynes yang umum dikenal menyatakan bahwa konsumsi sekarang sangat tergantung pada pendapatan sekarang, sehingga dapat dirumuskan:
           
Ct = c0 +c1Yt

Dimana Ct = konsumsi sekarang; Yt = pendapatan sekarang; c0 = autonomous consumption; dan c1 = marginal prospensity to consume.

            Kecenderungan mengkonsumsi marjinal menurut Keyens antara 0 dan 1, dimana kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (average prospensity to consume) menurun saat pendapatan meningkat. Ketika terjadi kenaikan pendapatan, menyebabkan konsumsi juga akan meningkat, tetapi tidak sebesar kenaikan pendapatan. Menurut Keyens, peranan tingkat bunga  terhadap konsumsi hanya sebatas teori. Pengaruh jangka pendek dari tingkat bunga terhadap pengeluaran dari pendapatannya bersifat sekunder dan relatif tidak begitu penting.
Meski pada akhirnya banyak pengembangan mengenai konsep keterkaitannya, berdasar pengamatan Keynes bisa jadi bunga dan konsumsi memiliki hubungan yang negatip (Sukirno, 2000). Sehingga secara sederhana dapat dinyatakan bahwa:

Ct = f(IR),

dimana Ct = konsumsi periode t; dan IRt = interest rate.

3.    Metode dan Data

Kajian sederhana paper ini berkaitan dengan pengukuran hubungan antara konsumsi dan tingkat bunga. Dijabarkan selanjutnya dalam model ekonometri untuk memperoleh nilai parameter model. Data yang digunakan adalah data sekunder yang sifatnya time series, berupa data pengeluaran konsumsi dan data tingkat bunga (interest rate) selama  2005 – 2014. Sumber data dari Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia dan International Monetary Fund.
            Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi linier sederhana sebagai berikut (Gujarati, 1995):

Ct = b0 +b1IRt + ei

Dimana Ct = konsumsi; IRt = interest rate; b0, b1 = parameter; dan ei = error term.

Untuk menghindari kesalahan pengukuran, model yang dibentuk akan ditransformasikan dalam bentuk log. Tujuannya untuk membuat model menjadi linier. Mengingat bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi bersifat sekunder (Krisnawati, 2005). Sehingga model lebih lanjut ditransformasikan dalam bentuk logaritma, sebagai berikut:

logCt = b0 +b1logIRt + ei

Setelah model ditransformasi, untuk melihat fungsi keseimbangan jangka panjangnya dilakukan kembali pemodelan dengan mengadopsi sebagian error correction model dan memasukkan unsur lag konsumsi satu periode (Ct+1) melalui perubahan konsumsi dan tingkat bunga; dengan formulasi sebagai berikut:

logECt+1 = b0 - g0logDIRt + g1logDCt + ei

Sehingga modelnya menjadi:

logDCt+1 = r0 +r1logDIRt + r2logECt+1 + ei

Dimana DCt-1 = perubahan konsumsi periode berikut
Model penyesuaian menunjukkan bahwa hubungan perubahan tingkat bunga terhadap konsumsi rumah tangga dalam jangka panjang akan diseimbangkan oleh error sebelumnya. Dengan demikian koefisien dari ECt+1 diharapkan bernilai negatif dan signfikan. Sehingga dapat dikatakan ada penyesuaian jangka panjang perubahan tingkat bunga terhadap konsumsi.
            Selanjutnya akan dilakukan pengujian statistik model regresi, berupa uji linier model, uji normalitas data, uji t, uji F, dan uji asumsi klasik (uji autokorelasi dan heteroskedastisitas) untuk memberikan penguatan terhadap hasil pengukuran statistik model.


4.    Hasil dan Pembahasan

Model Regresi Sederhana Konsumi dan Tingkat Bunga

Untuk mengetahui bagaimana pola hubungan antara konsumsi dan tingkat bunga digunakan data time series konsumsi dan tingkat bunga selama periode 2005-2014 untuk kasus Sumatera Selatan. Pada kajian ini variabel konsumsi diletakkan sebagai variabel dependen dan tingkat bunga sebagai variabel independen. Sehingga model yang akan diestimasi dirangkai dalam bentuk model regresi sederhana sebagai berikut:

logCt = b0 +b1logIRt + ei


Data diolah menggunakan perangkat E-Views 7 dan hasil yang diharapkan dari estimasi model adalah terdapatnya keterkaitan negatip antara konsumsi dengan tingkat bunga.
Hasil estimasi model adalah sebagai berikut:  logCt = 9,042582 – 1,259998logIRt + ei

Tabel 1. Estimasi Model Konsumsi dan Tingkat Bunga

Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.  
LOGIR
-1.259998
0.159595
-7.894971
0.0000
C
9.042582
0.138993
65.05792
0.0000
R-squared
0.886251
    Mean dependent var
7.955124
Adjusted R-squared
0.872033
    S.D. dependent var
0.164555
S.E. of regression
0.058865
    Akaike info criterion
-2.650267
Sum squared resid
0.027721
    Schwarz criterion
-2.589750
Log likelihood
15.25134
    Hannan-Quinn criter.
-2.716654
F-statistic
62.33057
    Durbin-Watson stat
2.430259
Prob(F-statistic)
0.000048



                               Sumber: diolah

            Berdasarkan hasil estimasi tersebut, disimpulkan bahwa antara tingkat bunga dan konsumsi memiliki hubungan negatip, terlihat dari nilai koefisein b1= -1,259. Secara statistik hubungan ini sangat signfikan (probabilitas nilai t hitung = 0,0000 < 0,005), demikian juga untuk uji varian F = 62,331 > F tabel. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat bunga maka akan semakin rendah konsumsi. Hal ini juga diperkuat oleh besaran konstanta C yang secara statistik juga sangat signifikan serta dari nilai korelasi (R) = 94,1%.
            Hubungan ini juga semakin berarti secara statistik mengingat kontribusi variabel tingkat bunga terhadap variasi perubahan variabel konsumsi yang cukup besar. Terlihat dari nilai determinan (R2) = 88,6%, sedangkan sisanya sebesar 11,4% disebabkan oleh faktor lain selain tingkat bunga.
·      Uji Linier Model (Ramsey reset Test)
Uji ini penting dilakukan mengingat kesalahan spesifikasi model dapat berakibat inefisiensi penaksir. Pengujian dilakukan dengan statistik F mengingat prosedur ini sama dengan pengujian signifikansi secara bersama-sama di dalam suatu model (Lampiran Tabel 2).
Berdasarkan hasil pengujian dengan Ramsey reset Test dinyatakan bahwa model yang diuji telah memnuhi kaidah linier model regresi. Terlihat dari nilai F hitung yang tidak signifikan secara statistik (probabilita 0,2780 > 0,05) pada level signifikan 99%.
·      Uji Normalitas Data
Dengan menggunakan pengujian melalui nilai residual, diperoleh nilai Jarque-Bera = 0,307488 dengan probabilitas 0,857492 > 0,05 pada level signifikan 99%. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa data yang digunakan dalam model terdistribusi secara normal (Lampiran Grafik 1).
·      Uji Autokorelasi (Breush-Godfrey Test)
Uji ini mengasumsikan bahwa factor pengganggu et diturunkan mengikuti path-order autoregressive yang dibentuk fari model persamaan regresi. Hasil pengujian menunjukkan nilai F tidak signifikan pada level 5%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model tidak mengalami masalah autokorelasi (Lampiran Tabel 3)
·      Uji Heteroskedastisitas (White Test)
Pengujian dilakukan dengan menghitung nilai c2, jika hasil perhitungan ternyata diperoleh nilai c2 > c2 tabel, atau probabilitas hitung > 0,05, maka hipotesi yang menyatakan ada masalah heteroskedastisitas dapat diabaikan.
Berdasarkan hasil pengujian dengan white-test diperoleh probalitas c2 observasi = 3,644 > 0,05 dan signfikan pada level 95%, maka dapat disimpulkan bahwa model terbebas dari masalah heteroskedastisitas (Lampiran Tabel 4).



Model Penyesuaian Jangka Pendek Konsumsi dan Tingkat Bunga

Estimasi model penyesuaian jangka pendek adalah dengan milhat perubahan tingkat bunga dan konsumsi untuk memeproleh nilai koreksi konsumsi pada lagt+1 untuk konsumsi. Model yang dibentuk sebagai berikut:

logDCt+1 = r0 +r1logDIRt + r2logECt+1 + ei

nilai yang jadi penekanan adalah koefisien koreksi konsumsi (ECt+1), apabila tanda koefisien koreksi konsumsi adalah positip, maka dapat dikatakan bahwa perubahan jangka pendek tingkat bunga akan memiliki efek positip terhadap perubahan konsumsi jangka pendek dan sebaliknya.
Model yang diperoleh sebagai berikut:

logDCt+1 = 0,000484 +0,050255logDIRt – 0,005958logECt+1


Berdasarkan hasil perhitungan, terlihat bahwa nilai koefisien koreksi konsumsi bernilai negatip (-0,005958), yang mengimplikasikan bahwa konsumsi rumah tangga menyesuaikan dengan perubahan tingkat bunga pada periode yang sama. Tetapi koefisien ini tidak signifikan secara statistik, sehingga kesimpulan ini menjadi kurang begitu relevan. Dengan kata lain, meski konsumsi menyesuaikan dengan perubahan tingkat bunga pada periode yang sama, seharusnya efek ini terjadi pada jangka panjang. Karena koefisien tidak signifikan, maka dapat dinyatakan bahwa efek perubahan tingkat bunga terhadap konsumsi juga terjadi di jangka pendek.


Tabel 5. Model Jangka Pendek Konsumsi dan Tingkat Bunga

Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.  
DLOGIR
0.050255
0.130632
0.384705
0.7119
CORLOGK
-0.005958
0.002996
-1.988793
0.0870
C
0.000484
0.025010
0.019361
0.9851
R-squared
0.361312
    Mean dependent var
0.047009
Adjusted R-squared
0.178829
    S.D. dependent var
0.027599
S.E. of regression
0.025010
    Akaike info criterion
-4.295740
Sum squared resid
0.004379
    Schwarz criterion
-4.204964
Log likelihood
24.47870
    Hannan-Quinn criter.
-4.395320
F-statistic
1.979981
    Durbin-Watson stat
0.897340
Prob(F-statistic)
0.208215



                            Sumber: diolah


Pembahasan

Bunga (interest rate) dapat diartikan sebagai imbalan yang dibayar atas daya beli saat ini (Sangadji, 2007). Pada saat akan menggambarkan fungsi konsumsi, maka perlu diasumsikan tingkat bunga tertentu. Sehingga saat terjadi kenaikan tingkat bunga, ceteris paribus, rumah tangga akan menabung lebih banyak dan mengkonsumsi lebih sedikit.
            Berdasar hasil kajian menunjukkan bahwa tingkat bunga memiliki hubungan negatip dengan konsumsi rumah tangga di Sumatera Selatan. Dengan demikian, naiknya tingkat bunga akan menahan laju konsumsi rumah tangga. Penelitian yang dilakukan Sangadji (2007) menunjukkan bahwa ada hubungan negatip antara tingkat bunga dengan konsumsi. Rumah tangga akan mengurangi konsumsinya dan memilih menabung saat terjadi kenaikan suku bunga. Hal ini sejalan dengan dengan teori Keynes yang menyatakan bahwa konsumsi sekarang akan sangat dipengaruhi oleh tingkat bunga. Sesuai dengan motif orang memegang uang, selain untuk transaksi dan jaga-jaga, ada motif ketiga yaitu spekulasi. Untuk dua motif awal, artinya orang akan memegang uang tunai untuk melakukan aktivitas yang dimaksud. Sementara motif yang spekulasi, orang cenderung tidak memegang uang tunai. Orang akan lebih senang menyimpan unag, Baik itu untuk membeli obligasi atau hanya sekedar menabung. Sehingga saat terjadi kenaikan tingkat bunga, dalam konteks ini bunga tabungan, maka orang akan lebih cenderung menabung dan menahan aktivitas konsumsinya.
            Efek tingkat bunga terhadap konsumsi terjadi dalam jangka pendek melalui perubahan tingkat bunga. Sehingga saat ada peningktan tingkat bunga, maka konsumsi rumah tangga akan menyesuaikan dengan perubahan tersebut pada periode yang sama. Meski hal ini sejalan dengan pendapat Keynes yang menyatakan bahwa efek tingkat bunga terjadi dalam jangka pendek, meski efeknya hanya sebatas teori dan kurang begitu berarti.


5.    Penutup

Kesimpulan

Menurut Keyens, peranan tingkat bunga  terhadap konsumsi hanya sebatas teori. Meski dinyatakan bahwa tingkat bunga memiliki pengaruh negatip terhadap konsumsi, akan tetapi pengaruhnya hanya dalam jangka pendek dan bersifat sekunder. Sehingga efeknya menjadi tidak begitu berarti.
Hasil kajian dengan menggunakan data time series tingkat bunga dan konsumsi selama periode 2005-2014 di Sumatera Selatan menunjukkan pola yang sama, Terdapat hubungan negatip antara tingkat bunga dengan konsumsi rumah tangga. Akan tetapi, hasil estimasi dengan model yang disesauiak melalui perubahan tingkat bunga, ditemukan bahwa tingkat bunga juga memiliki efek tehadap konsumsi dalam jangka pendek.


Saran

1.    Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai pola konsumsi rumah tangga dalam kaitannya dengan tingkat bunga dengan periode pengamatan yang lebih panjang. Variabel lain seperti inflasi, investasi dan pendapatan serta dummy kebijakan sangat relevan untuk dipertimbangkan dalam kajian labih lanjut.





Daftar Pustaka

Burhan, Umar, 2005. Perilaku Rumah Tangga Muslim dalam Menabung, Berinvestasi dan Menyusun Portopolio Kekayaan dan Implikasinya Terhadap Perkembangan BankSyariah. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang.
BPS Indonesia, Data Konsumsi, Pendapatan dan Tingkat Bunga. www.google.com
Gujarati, Damodar, 1995. Basic Econometry, Fourth Edition. New York: McGraw-Hill
International Monetary Fund, 2014. Interest Rate, Discount Rate Indonesia. www.google.com
Ismail, Munawar, et.all, 2005. Uji Hipoteisi “Jalan Acak” dalam Fungsi Konsumsi di Indonesia. Jurnal Kajian Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 4 No. 2, Desember
Kimin, Basir, 2002. Pola Konsumsi Petani Karet Sawah ditinjau dari Hipotetsis pendapatan Realtif: Studi Kasus Tiga Desa di Kecamatan Sirah Pulau Padang. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 17, No. 3, Juli 2002. Yogyakarta: FE-UGM
Krisnawati, Enii, et.all, 2004. Analisis Pola Konsumsi Rumah Tangga Nelayan dalam Perspektif Ekonomi dan Sosial: Studi Kasusu pada desa Bandaran Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan. Jurnal TEMA, Vol. 5, No. 1, Maret. FE-Unibraw, Malang.
Romer, David, 2006. Advanced Macroeconomics, Chapter 7. Third Edition, McGraw-Hill
Sangadji, Maryam, 2007. Fungsi Konsumsi Rumah Tangga di Indonesia: Pendekatan Model Koreksi Kesalahan. Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura, Ambon.
Samuelson, Paul. A and Nordhaus, William. D. Macroeconomics, 17th Edition, McGraw-Hill.
Sukirno, Sadono, 200. Makro Ekonomi Modern: Perkembangan Pemikrian dari Klasik hingga Keyensian Baru. Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta.


























Lampiran:
Tabel a. Konsumsi dan Interest Rate, Sumatera Selatan 2005-2014

Tahun
Konsumsi*)
(rp. Juta)
Interest Rate**)
(%)
logK
logIR
DlogK
DlogIR
CorlogK
2005
48047781
12.75
7.681673335
1.105510185
0
0
0
2006
55331100
9.75
7.742969304
0.989004616
0.061295969
-0.116505569
-9.0977916
2007
64636862
8.00
7.810480264
0.903089987
0.06751096
-0.085914629
-9.060985669
2008
81412108
9.25
7.910689
0.966141733
0.100208736
0.063051746
-8.879321518
2009
92582785
6.50
7.966530241
0.812913357
0.055841241
-0.153228376
-9.139969135
2010
101550733
6.50
8.006683063
0.812913357
0.040152822
0
-9.002429178
2011
115478933
6.00
8.062502762
0.77815125
0.0558197
-0.034762106
-9.021524406
2012
123100543
5.75
8.090259967
0.759667845
0.027757205
-0.018483406
-9.033308201
2013
134179591
6.00
8.127686465
0.77815125
0.037426498
0.018483406
-8.986672096
2014
141827828
5.31
8.151761452
0.725094521
0.024074987
-0.053056729
-9.071563742
  Sumber: *) Sumsel Dalam Angka, 2005-2014; **) Bank Indonesia dan IMF


Tabel 2. Uji Linier Model
Ramsey RESET Test



Value
df
Probability

t-statistic
 1.176151
 7
 0.2780

F-statistic
 1.383331
(1, 7)
 0.2780

Likelihood ratio
 1.803352
 1
 0.1793




 









Gambar 1. Uji Normalitas Data


Tabel 3. Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic
0.452057
    Prob. F(2,6)
0.6563
Obs*R-squared
1.309529
    Prob. Chi-Square(2)
0.5196


Tabel 4. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedasticity Test: White

F-statistic
0.717033
    Prob. F(1,8)
0.4217
Obs*R-squared
0.822566
    Prob. Chi-Square(1)
0.3644
Scaled explained SS
0.309724
    Prob. Chi-Square(1)
0.5778